» » » » Peluang Usaha Ternak Ulat Sutra

Usaha sutera alam masih memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan mengingat tingginya kebutuhan dunia akan benang sutera. Pada perkembangan pasar persuteraan alam menunjukkan prospek yang cukup baik, hal ini tergambarkan dari jumlah produksi raw silk dunia yang terus naik beberapa tahun terakhir, dari 55.222 ton/tahun menjadi 52.342 ton/tahun, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan stabil pada kisaran 81.546 ton (Sihombing,2004). kebutuhan dunia cukup besar dan stabil pada kisaran 81.546 ton (Sihombing,2004). Kualitas dan kuantitas benang sutera yang dihasilkan sangat ditentukan oleh teknik pemeliharaan ulat yang dilakukan oleh petani sutera. Teknik pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan sangat beragam yang didasarkan pada bibit ulat sutera yang digunakan, jenis daun murbei, tindakan desinfeksi, tempat pemeliharaan ulat dan alat pengokonan yang digunakan. Beragamnya teknik pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan oleh petani tentunya akan berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan dan pendapatan yang diterima oleh petani sutera. Pada dasarnya usaha berternak ulat sutera atau yang biasa disebut dengan usaha persuteraan alam ini telah lama dikenal di Indonesia akan tetapi masih sedikit masyarakat yang mau menekuninya dan belum populer dikalangan masyarakat. Padahal dengan menekuni usaha ini tidak membutuhkan ketreampilan khusus yang tinggi, menghasilkan produk dengan nilai ekonomis yang tinggi serta relatif cepat menghasilkan.

Kegiatan usaha budidaya ulat sutera dapat dibagi menjadi tiga unit usaha dilihat dari aspek usahanya. Dari ketiga unit tersebut masing – masing dapat berdiri menjadi unit usaha mandiri. Kegiatan unit usaha tersebut antara lain adalah usaha perkebunan murbei sebagai pemasok pakan ulat sutera , selanjutnya adalah usaha pemeliharaan ulat sutera untuk menghasilkan kokon, dan usahapemintalan kokon menjadi benang sutera yang siap tenun.

Dari uraian di atas tentang begitu besar potensi akan peternakan ulat sutra maka dari itu pada makalah kami ini kami membahas secara khusus bagaimana efisiensi produksi peternakan ulat sutra. Dengan demikian di harapkan makalah ini dapat menjadi sumber infomasi dimana pengembngan usaha ulat sutera akan dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat, sehingga pendapatan masyarakat akan lebih meningkat.

Ulat Sutera

Ulat sutera adalah serangga penghasil benang sutera yang siklus hidupnya mengalami metamorfosa sempurna yaitu dari larva ( ulat ), pupa sampai dengan kupu-kupu ( Apriyanto, 2010). Jenis ulat sutera yang banyak dibudidayankan di Indonesia adalah jenis Bombyx mori yang termasuk dalam keluarga bombicidae. Jenis ulat sutera Bombyx mori merupakan jenis ulat yang monophagous atau hanya makan daun murbei saja. Pada siklus alami, ulat sutera yang menghasilkan satu generasi dalam satu tahun disebut univoltine. Jika menghasilkan dua generasi dalam satu siklus disebut dengan bivoltine, dan jika lebih dari itu disebut multivoltine ( Haris, 2010 ).

Telur ulat sutera berbentuk lonjong, p=1.3 mm, l=1 mm dan tebal=0.5 mm, warna putih kekuningan. Telur biasanya menetas 10 hari setelah menjalani perlakuan khusus pada suhu 25° C dan pada RH 80-85%. Secara alamiah penetasan dapat dengan memberikan larutan HCl. Ulat sutera terbagi dalam 5 instar yaitu :
instar 1,2 dan 3 disebut ulat kecil dengan umur 12 hari. Pada instar ini tahan terhadap suhu 28-30 C dan RH 90-95%, menjelang istirahat nafsu makannya menurun.
instar 4 dan 5 disebut ulat besar dengan umur sekitar 13 hari. Pada instar ini membutuhkan suhu 23-25C dgn RH 70-75%. Setelah instar 5 berakhir ulat akan mengokon.
Pupa, terjadi setelah ulat selesai mengeluarkan serat ulat sutera. Lama masa pupa kurang lebih 12 hari. Pupa jantan ruas ke 9 terdapat tanda titik sedang pupa betina ruas ke 8 terdapat tanda silang ( Anomim, 2011 ).

Jalur Tata Niaga Usaha Budidaya Ulat Sutera
Ditinjau dari aspek agribisnis usaha ulat sutera mempunyai rantai tata niaga yang cukup panjang, sebab produk yang dihasilkan berupa bahan baku industri sandang, sehingga dari proses budi daya akan berlanjut dengan agroindustri berupa usaha pemintalan kokon dan pertenunan (garmen). Di pihak lain, bibit ulat sutera hingga kini belum dapat diproduksi oleh petani/pemelihara ulat sendiri, tetapi oleh perusahaan (BUMN) yang sudah tentu menambah panjangnya jalur tata niaga.

Perusahaan pertenunan/garmen memproses benang sutera menjadi kain sutera, yang sebagian produksinya dipasarkan di dalam negeri dan sebagian disalurkan keeksportir untuk dipasarkan di luar negeri. Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka prospek budi daya ulat sutra di masa mendatang akan sengat cerah. Apalagi dengan berkembangnya sektor pariwisata yang antara lain ditandai denga meningkatnya arus kunjungan wisatawan asin yang ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di dalam negari. Hal ini dapat diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera dan kain sutera ( Armando,2008 ).

Teknik Pemeliharaan Ulat Sutera
Teknik pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan dapat dikelompokkan berdasarkan bibit ulat sutera yang digunakan, penggunaan daun murbei, tindakan disinfeksi, tempat pemeliharaan, dan alat pengokonan yang digunakan.

Bibit Ulat Sutera
Bibit ulat sutera merupakan salah satu faktor penting dalam pemeliharaan ulat sutera. Bibit ulat sutera yang berkualitas sangat menentukan produksi kokon yang akan dihasilkan. Pada pembibitan ulat sutera dilakukan pengujian dan sertifikasi bibit untuk mengidentifikasi apakah bibit tersebut mengandung penyakit yang dapat menurunkan produksi kokon sehingga kerugian yang akan dialami oleh petani sutera dapat dihindari.

Penggunaan Daun Murbei
Produksi kokon yang dihasilkan oleh petani sutera juga ditentukan oleh tersedianya pakan ulat sutera (daun murbei). Selain jumlah daun murbei yang tersedia, jenis murbei juga dapat menentukan kualitas dan kuantitas kokon yang dihasilkan. Jenis daun murbei yang sering digunakan untuk pakan ulat sutera antara lain adalah Morus indica, M. khunpai, M. multicaulis, M. nigra dan Morus alba.
Desinfeksi

Desinfeksi adalah suatu tindakan untuk mencegah berkembangnya penyakit pada saat pemeliharaan ulat sutera. Tindakan desinfeksi dilakukan dengan cara menyemprotkan desinfektan pada tempat pemeliharaan dan alat-alat pemeliharaan ulat sutera yang digunakan. Idealnya penyemprotan desinfektan dilakukan 2 kali yaitu sebelum pemeliharaan ulat sutera dan setelah kegiatan pemeliharaan ulat sutera.
Tempat pemeliharaan ulat sutera

Tempat pemeliharaan ulat sutera dapat mempengaruhi produksi kokon yang akan dihasilkan. Pemeliharaan ulat sutera dapat dilakukan secara kecil‐kecilan dalam sala rumah tangga ataupun secara besar‐besaran. Namun, dimanapun ulat itu dipelihara, hendaknya ruangan/tempat pemeliharaan memenuhi persyaratan, terutama menyangkut suhu, cahaya, kelembaban, dan ventilasi (pertukaran) udara.
Gambar. Tempat Pemeliharaan

Alat pengokon
Alat pengokonan yang digunakan dapat mempengaruhi kualitas kokon yang akan dihasilkan. Di Sulawesi Selatan, alat pengokonan ulat sutera ada 4 (empat) jenis yaitu alat pengokonan dari sarang-sarang (terbuat dari ranting-ranting atau sejenis tumbuhan paku/pakis yang sudah kering), alat pengokonan dari bambu, alat pengokonan rotary , dan alat pengokonan seriframe.

Anggaran Pemeliharaan Ulat Sutera
Biaya pemeliharaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu biaya yang dikeluarkan oleh petani sutera pada setiap periode pemeliharaan per bibit ulat sutera. Biaya pemeliharaan ulat sutera dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu biaya investasi dan biaya produksi.
Biaya Investasi

Biaya investasi yang dimaksd dalam tulisan ini adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk membeli peralatan yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ulat sutera. Peralatan-peralatan tersebut bisa digunakan berulang-ulang dalam beberapa periode pemeliharaan sesuai umur ekonomis dari peralatan tersebut. Besarnya biaya investasi yang harus dikeluarkan oleh petani sutera ditentukkan oleh tempat pemeliharaan ulat sutera dan alat pengokonan yang digunakan. Sesuai dengan pendapat Kadir (2008) besarnya biaya investasi untuk budidaya ulat sutera dalam 1 box berkisar antara RP. 2.306.00,- sampai Rp. 3.711.000,-.
Biaya produksi

Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan pada setiap periode pemeliharaan ulat sutera. Biaya produksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap bersumber dari biaya penyusutan peralatan. Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani sutera yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah ulat sutera yang dipelihara. Besarnya biaya produksi yang dibutuhkan pada pemeliharaan ulat sutera menurut Kadir ( 2008 ) berkisar antara Rp. 332.469,-/box sampai Rp. 393.344,-/box dengan rata-rata Rp. 350.302,-/box .

Produksi dan Analisa Pendapatan 
Pendapatan yang diterima oleh petani sutera ditentukan oleh produksi kokon yang dapat dihasilkan dalam satu periode pemeliharaan ulat sutera dan harga kokon yang berlaku di masyarakat. Produksi kokon dalam setiap box dan satu kali periode pemeliharaan berkisar antara 30,5 kg/box sampai 40 kg/ box dengan rata-rata produksi kokon sebesar 36,25 kg/box . Apabila harga kokon di tingkat petani sebesar Rp. 20.000,-/Kg, maka rata-rata pendapatan kotor yang akan diterima oleh petani sutera sebesar Rp.725.000,-/ box /periode pemeliharaan ulat sutera. Apabila dalam setahun petani sutera dapat melakukan kegiatan pemeliharaan ulat sutera sebanyak 10 kali, maka rata-rata total pendapatan kotor yang diperoleh oleh petani sutera adalah Rp.7.250.000,-/tahun.
Analisa PendapatanBiaya tetap : 100.902
Biaya tidak tetap : Rp. 249.400,-
Total biaya produksi : Rp. 350.302,-
Produksi : 36,25 kg
Harga kokon/kg : Rp. 20.000,-
Pendapatan kotor : Rp. 725.000,-
Pendapatan bersih : Rp. 374.698,- /box

Budidaya ulat sangat menguntungkan dan berprospek cukup baik mengingat kebutuhan akan benang sutra yang semakin meningkat. Untuk membudidayakannya juga tidak membutuhkan biaya yang terlalu banyak, hanya berkisar Rp 1-2 juta / box. Sementara penghasilan yang diperoleh rata-rata Rp 7 juta / tahun dengan pendapatan bersih rata-rata Rp 300 ribu / Box. Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka prospek budi daya ulat sutra di masa mendatang akan sengat cerah.

Melihat prospek dan peluang usaha pembudidayaan ulat sutra yang begitu menjanjikan serta kebutuhan akan benang sutra yang semakin meningkat, maka usaha pembididayaan ini harus mendapat perhatian penuh oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya melakukan penyuluhan kepada peternak-peternak Ulat Sutra dan memberikan pengarahan-pengarahan mengenai teknis budidaya ulat sutra supaya para peternak ulat sutra semakin mahir dan menguasai teknis pembudidayaannya, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal. Pemerintah juga bisa memberikan penyuluhan dan pendidikan tentang pembudidayaan ulat sutra kepada non-peternak ulat sutra supaya mereka berani mencoba membudidayakan ulat sutra, mengingat prospek pembudidayaan ulat sutra yang cukup baik. Dengan begitu, diharapkan kebutuhan nasional akan benang sutra bisa terpenuhi dan para peternak ulat sutra hidupnya semakin sejahtera.

Sumber: http://muchlassains.wordpress.com

About ADM

Hi there! I am Hung Duy and I am a true enthusiast in the areas of SEO and web design. In my personal life I spend time on photography, mountain climbing, snorkeling and dirt bike riding.
«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments:

Leave a Reply

Nonton