Pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai. Pertarungan pemilu legislatif dan pemilu presiden sudah dimulai minggu lalu, sejak Megawati Soekarnoputri mengumumkan (lebih tepatnya memerintahkan dalam Perintah Hariannya) Jokowi maju sebagai calon presiden dalam pertarungan pergantian kepemimpinan nasional 2014 ini.
Dalam beberapa bulan belakangan, masyarakat menanti – termasuk masyarakat internasional. Berbagai kalangan mulai dari analis politik, lembaga survei, media massa, kongkow-kongkow warung kopi, semuanya menantikan kejelasan peta politik 2014 ini. Sebelum pencalonan Jokowi, sebagian masyarakat masih belum merasa sreg dengan para calon yang sudah mulai berseliweran di media massa. Banyak analisa yang mengatakan, jika Jokowi maju dalam pilpres, akan menangguk suara mayoritas pemilih dan menang telak dalam satu kali putaran saja. Bisa jadi benar, bisa jadi salah, tergantung siapa pasangan calon wakil presidennya.
Kali ini harus diakui, langkah Megawati sudah sangat tepat membawa arah partainya – PDIP. Sudah semestinya, dan itulah yang dinanti masyarakat luas, dengan menyandang nama besar Bapak Pendiri Bangsa, sudah saatnya Megawati duduk mengayomi sebagai Ibu Bangsa, mengawal bangsa ini menuju arah yang lebih baik, bukan mengedepankan ambisi pribadi seperti sebelumnya. Salut juga karena Megawati lebih mendengarkan suara masyarakat luas dibandingkan melestarikan semangat dinasti keluarga, dimana sebenarnya dia sebagai Ketua Umum memiliki hak mutlak dan prerogatif untuk mencalonkan siapa saja, termasuk dirinya dan (mungkin) anaknya – Puan Maharani. Kenyataannya, kali ini Megawati membuat langkah besar mengajukan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP.
Persiapan matang perlu dilakukan. Jangan sampai seperti Partai Demokrat. Tak dapat dipungkiri, ini semacam déjà vu, ketokohan SBY waktu itu yang mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2009 (lepas dari kecurigaan segala kecurangan saat itu), dan ketokohan SBY pula yang memuluskan pasangan SBY-JK di pilpres 2004. Ketokohan SBY masih kuat di tahun 2009 (bahkan sampai sekarang), namun tidak sebanding dengan kondisi Partai Demokrat yang dipimpinnya. Kebobrokan dan kekeroposannya sudah dimulai pada waktu Pemilu 2004. Banyak kader yang “desersi” dari partai lain, menyeberang ke partai penguasa untuk kepentingan pribadi.
Ditambah lagi, walaupun memenangi Pemilu 2009, namun perolehan suara Demokrat tidaklah cukup untuk ‘menguasai’ parlemen. Demi untuk memuluskan jalannya pemerintahan, Demokrat harus berkoalisi dan harus banyak berkompromi dengan partai-partai ‘bandit’ dan ‘oportunis’ untuk mendukung jalannnya pemerintahan. Dua partai besar koalisi utama, Golkar dan PKS, terbukti justru nyrimpeti (tidak memuluskan) jalannya pemerintahan, dan membuat posisi SBY sebagai tokoh sentral dan kepala pemerintahan seperti tak berdaya. Tarik ulur kepentingan politik dan bargaining power Demokrat yang rendah membuat SBY benar-benar pasrah menerima ‘gelar lamban dan tidak tegas’.
Lebih parah lagi, partai kendaraan politiknya nyungsep ke titik nadir (sudah pernah diramalkan dalam artikel: Sandyakalaning Demokrat), karena para kader dan tokoh-tokoh pentingnya malah berbaris antre berlomba-lomba merampok duit negara. Sebut saja Angelina Sondakh, Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng – bahkan sempat besannya sendiri, semuanya tersangkut dalam kasus mega korupsi.
Lebih lengkap lagi dengan dua partai sekutu utamanya yang tersandung korupsi sapi dan pustun dan That Famous Lapindo Devil, lebih melengkapi lagi terpuruknya Demokrat. Semua mata – nasional dan internasional – melihat bagaimana That Famous Lapindo Devil tetap melenggang dengan segala jenis kasus yang dibuatnya. Lapindo sudah menjadi fenomena terkenal di dunia, plus sepak terjang secara bisnis dan ekonomi seperti perusahaan telekomunikasi dan asuransinya, berapa sudah jelas-jelas merugikan orang banyak. Sementara sekutu Demokrat satunya lagi yang mengedepankan agama dan merasa paling suci serta sudah pesan kavling di surga ternyata adalah partai yang sangat munafik, tersangkut skandal besar korupsi sapi dan urusan selangkangan yang terpapar gamblang.
Para Calon Presiden 2014
Satu-satunya yang sudah jauh hari mengajukan pencalonannya adalah Wiranto yang berpasangan dengan Harry Tanoesoedibjo. Hal ini bukanlah satu kelaziman di negeri ini, karena tingkat percaya diri dan keyakinan Hanura serta pasangan ini benar-benar tingkat dewa. Sepertinya tidak pernah capres dan cawapres yang datang dari partai yang sama – kecuali di Amerika. Bisa jadi percaya diri yang tingkat dewa ini karena Wiranto mengusung dan mengangkat etnis Tionghoa sebagai cawapresnya. Tidak dipungkiri, kekuatan media elektronik, terutama TV yang dikuasai Harry Tanoe bisa saja memengaruhi khalayak yang luas, namun masyarakat sekarang bukanlah masyarakat yang dulu lagi. Kecerdasan politik masyarakat sudah semakin tinggi, sepertinya kans pasangan yang mengusung tag kampanye WIN-HT ini masih agak jauh.
Tingkat percaya diri That Lapindo Devil bukan tingkat dewa lagi, tapi sudah di atasnya lagi. Dengan penuh keyakinan, mengesampingkan semua masukan dan pemikiran para sesepuh Golkar (Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, dsb), dia terus saja melenggang maju terus sebagai calon presiden dari Golkar. That Devil masih harus mencari pasangan sebagai cawapres untuk maju. Masalahnya sekarang, siapakah yang mau? Rasanya hanya orang yang sangat desperate dan bebal yang akan mau ditunjuk atau diminta mendampingi That Lapindo Devil sebagai cawapresnya.
Konvensi Demokrat yang mengajak dan merangkul banyak sekali tokoh, dari berbagai kalangan – ekonomi, militer, politik, birokrat, bahkan akademisi, menunjukkan kegalauan besar dalam partai ini setelah lengsernya SBY di akhir masa jabatan keduanya. Sebut saja deretan tokoh: Dino Patti Djalal, Anies Baswedan, Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Marzuki Alie, Pramono Edhie Wibowo (masih ipar SBY), belum lagi sederet tokoh lain yang mundur seperti Mahfud MD, Rusdi Kirana (Lion Air) dan Effendi Ghazali (pakar komunikasi politik) dan beberapa lainnya. Tak sedikit tokoh yang menolak rangkulan Demokrat.
Para tokoh konvensi Demokrat ini sebenarnya sadar sesadar-sadarnya posisi Demokrat saat ini berada di titik nadir, dan Demokrat tidak akan pernah memiliki lagi sosok dengan ketokohan seperti SBY untuk mendobrak dan menggebrak seperti di 2004 dan 2009. Satu-satunya yang mungkin menjadi jagoan Demokrat adalah Dahlan Iskan. Namun sungguh disayangkan belakangan kharisma Dahlan Iskan sendiri meredup karena gebrakan-gebrakannya surut setelah berhadapan dengan DPR karena isu yang dilontarkannya mengenai pemerasan BUMN oleh DPR. Entah karena apa, dobrakan dan gebrakan ini seperti menguap tidak ada kabar beritanya lagi. Walaupun ingatan masyarakat Indonesia pendek, namun tingkat ketokohan dan kiprah Dahlan Iskan belumlah cukup signifikan membekas di hati masyarakat. Hanya masyarakat perkotaan yang mengenal nama Dahlan Iskan. Nama Dahlan Iskan belumlah semerakyat nama Jokowi.
Parade calon presiden Demokrat ini tak lain hanyalah setitik obat gundah gulana partai yang sedang dirundung badai dahsyat ini. Tak satupun para tokoh tersebut yang cukup dikenal masyarakat luas dari berbagai kalangan dan lapisan. Siapapun nantinya calon presiden dan wakilnya yang diusung Demokrat, hanyalah akan menjadi penggembira saja.
Bagaimana dengan Prabowo? Dengan kendaraan politik baru yang serasa déjà vu seperti Demokrat di awal gebrakannya, sepertinya kesempatan Prabowo cukup besar. Banyak analisa yang mengatakan jika seandainya Jokowi tidak maju, hampir bisa dipastikan Prabowo yang akan memenangkan pemilihan presiden 2014 ini, itupun masih tergantung siapa pendamping calon wakil presidennya. Dengan situasi sekarang, posisi Prabowo sangat tidak menguntungkan. Harapannya hanya ada di pemilu legislatif 9 April mendatang. Jika perolehan suara Gerindra cukup signifikan, posisi tawarnya akan melesat naik. Akan siap menjadi koalisi partai pemenang pemilu legislatif atau sekalian menjadi oposisi, tapi masih tidak akan cukup kuat untuk melaju dalam pilpres. Dengan kemungkinan besar PDIP akan menangguk perolehan suara pemilu legislatif, satu-satunya pilihan Prabowo adalah berkoalisi dengan PDIP di titik awal sekarang ini.
Jika Prabowo bersedia ‘merendahkan’ diri, melakukan lobby politik dan merapat ke PDIP sebagai calon wakil presiden pendamping Jokowi, hampir bisa dipastikan, gabungan kekuatan PDIP-Gerindra akan menjadi mesin politik dahsyat yang pernah ada dalam sejarah modern Indonesia. Mesin politik yang bukan hanya menjangkau kalangan tertentu saja, namun hitungan di atas kertas, jangkauan koalisi PDIP-Gerindra akan sampai ke grass-root masyarakat lapisan bawah – yang sering disebut dengan wong cilik, militer – mengingat track record Prabowo, barisan nasionalis, petani, intelektual, cendikiawan, akademisi, dan kalangan yang lebih luas lagi.
Dengan koalisi PDIP-Gerindra, dalam pemilu legislatif, perolehan suara partai lain pasti akan digulung habis tanpa ampun, dan pasangan Jokowi – Prabowo akan menang telak sekali putaran dalam pilpres. Sebenarnya koalisi PDIP- Gerindra sudah pernah terjadi di 2009, pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo gagal total menangguk suara legislatif dan gagal di pilpres. Faktor Megawati yang maju lagi-maju lagi adalah faktor utama kegagalan tersebut. Namun jika kali ini Jokowi-Prabowo, sepertinya tidak akan ada yang mengalahkan.
Jika Prabowo merasa gengsi untuk merapat ke PDIP dan menjadi cawapres Jokowi, satu-satunya cara adalah melaju sendiri dalam pilpres sebagai capres dan akan memilih cawapresnya. Pilihan yang tidak mudah dilakukan dalam situasi sekarang ini, tidak banyak tokoh yang cocok dan pantas maju mendampingi Prabowo. Wacana Ahok yang digadang-gadang menjadi cawapres Prabowo, bukanlah hitungan politik yang tepat. Jokowi maju sebagai capres, jika ditambah lagi Ahok maju sebagai cawapres Prabowo, situasi politik nasional tidaklah terlalu baik di mata masyarakat nasional dan internasional, karena bagaimana dengan Jakarta nantinya? DKI Jakarta otomatis akan bagai provinsi dan ibukota yang ‘auto-pilot’ karena gubernur dan wakil gubernur incumbent dua-duanya akan berkampanye dalam pilpres.
Satu-satunya pilihan logis Prabowo adalah menyiapkan Ahok sebagai Gubernur DKI pada waktu Jokowi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2014-2019, sehingga paling tidak Gerindra masih memiliki kendali politik di ibukota. Dan berikutnya, di pilpres 2019, Ahok boleh atau bisa jadi mendampingi Jokowi maju sebagai capres dan cawapres, untuk masa jabatan kedua Jokowi. Pilihan terbaik Prabowo untuk saat ini adalah jika dia bersedia mengesampingkan perasaan gengsi dan maju berdampingan dengan Jokowi sebagai cawapres, dengan demikian kekuatan politik PDIP-Gerindra akan lengkap sudah di parlemen, Istana dan ibukota.
Ada satu hal yang sangat mengganjal dengan Prabowo Subianto ini, yaitu tabir kabut misteri Kerusuhan Mei 1998. Sampai saat ini tidak ada satu pun pernyataan lugas dan gamblang dari para jenderal ketika itu. Sebut saja Prabowo Subianto, Sjafrie Sjamsoedin, Wiranto, dan juga presiden incumbent Susilo Bambang Yudhoyono. Jika ada satu jenderal saja yang berani membeberkan skenario sebenarnya apa yang terjadi ketika itu, tak dapat dibendung lagi, elektabilitasnya pasti akan meroket naik, termasuk sambutan baik dunia internasional. Tapi apakah mungkin?
Masih cukup waktu untuk PDIP dan Gerindra (atau partai lain) memersiapkan pasangan gubernur dan wakil gubernur berikutnya untuk ancang-ancang menyandingkan Ahok sebagai cawapres pendamping Jokowi di masa jabatan kedua 2019-2024. Jika Prabowo tidak mengambil kesempatan kali ini dan berusaha melenggang sebagai capres, kansnya untuk memenangi pilpres masih di bawah Jokowi dan untuk periode berikutnya, Prabowo akan terkendala umur.
Sekarang yang menjadi pertanyaan besar, siapakah nanti pendamping Jokowi dalam pilpres? Pilihan paling logis adalah Prabowo – dengan segala kekurangannya. Kemudian siapa pilihan lainnya? Beberapa tokoh sudah bersuara bersedia mendampingi Jokowi, seperti Akbar Tanjung misalnya. Walaupun mungkin Akbar Tanjung bukanlah pilihan jelek, namun Akbar Tanjung adalah tokoh yang sudah lewat masa jayanya. Dari segi usia dan kesan di masyarakat, tidaklah begitu berkilau seperti pada masa jayanya. Pilihan lain yang bisa jadi kuda hitam dalam pilpres 2014 ini adalah Jusuf Kalla. Ketokohan dan kepopuleran Jusuf Kalla masih cukup kuat dan bersinar mengingat kiprahnya selama menjadi wakil presiden mendampingi SBY di masa jabatan pertamanya dan kiprah-kiprah lainnya setelah mundur dari pemerintahan.
Dengan Jusuf Kalla sebagai cawapres pendamping Jokowi, bisa jadi Golkar akan terpecah menjadi dua kubu. Satu kubu penjilat yang tetap di pihak That Lapindo Devil dan kubu satu lagi adalah kubu Jusuf Kalla. Saat ini pun, Golkar sebenarnya sudah terpecah-pecah karena posisi ketua di tangan That Devil.
Kita lihat bersama nanti di pemilu legislatif tanggal 9 April 2014 dan siapa-siapa capres dan cawapres yang akan berlaga di pilpres 2014 ini. Sepertinya siapapun pendamping Jokowi, para capres lain sekarang ini hanyalah pelengkap dan penggembira saja. Tinggal bagaimana strategi dari para tokoh dan mesin politik yang dikendarainya untuk bersikap dan menentukan langkah krusial kali ini.
Kemudian bagaimana dengan partai-partai lainnya? Pilihannya hanya satu, koalisi dengan partai pemenang pemilu legislatif nantinya. Hendak menjadi oposisi rasanya hanyalah mimpi di siang bolong. Apalagi partai-partai yang berbusa-busa mengusung agama yang sudah merasa paling hebat dan memiliki Indonesia, hanyalah pelengkap penderita dan penggembira belaka, karena notabene partai-partai ini dan kader-kadernya hanya sibuk dengan urusan halal-haram, surga-neraka, kafir-khilafah dan tentu saja favorit mereka yaitu selangkangan. Apakah ada kiprah nyata partai-partai pengusung agama ini? Waktu dan sejarah sudah mencatatnya dan mereka tidak pernah belajar.
No comments: